Entah mengapa saya hari ini pengen mengangkat isu ini, pungli atau pungutan liar yang berkeliaran dan marak sekali di lingkungan saya tinggal saat ini. Mungkin karena heran, mungkin karena kesal, mungkin karena begah. Karena hampir setiap tikungan selalu saja saya bisa menemukan pungli ini dan tidak ada pihak berwajib yang menertibkan, mereka merajalela tanpa batas.
Pungli atau biasa disebut pungutan liar, mungkin orang-orang di negara merah putih ini setiap hari melihat dan melewatinya. Namun karena ini dianggap hal yang biasa atau menjadi terbiasa karena dibiarkan, tidak ada pihak berwajib yang mengamankan. Tidak hanya parkir liar, disetiap ruko selalu ada saja orang yang jaga meski ada tulisan "Parkir Gratis" juga banyak. Juga pungli berbalut sedekah pembangunan masjid yang sangat marak, hingga sampai puluhan tahun pembangunan masjid ini tak juga rampung-rampung tetap aja beredar dan dianggap tak masalah, padahal ini masalah.
Selain yang saya sebut diatas, ada lagi pungli musiman yang dibalut embel-embel bantuan/sedekah saat mendekati hari-hari besar, contohnya: agustusan, maulidan, HUT. Dari orang tua, dewasa, sampai anak kecil berbondong-bondong membuka tempat nongkrong baru ditengah/pinggiran jalan sambil jogetan/karokean tidak peduli itu membuat jalanan macet parah atau tidak. Pokoknya yang penting buka aja, niat kita baik, mungkin begitu kata mereka.
Yang membuat saya heran adalah, bahkan anak-anak kecil saja sudah diajari untuk hal seperti itu. Oke tak masalah jika mereka diajari membuka pintu sedekah dengan memperlihatkan skill, contoh menampilkan musik, menampilkan skill puisi, atau sesuatu seperti itu. Namun tidak, mereka diajari untuk nongkrong dipinggir jalan sambil mengacungkan alat pengumpul uang ketengah jalan, begitu saja sambil main hp. Apa bedanya itu dengan diajari meminta-minta?
Dalam satu perjalanan saya dari rumah menuju tempak kerja yang berjarak 20 KM, inilah rintangan yang saya hadapi:
Pertama, mau nyebrang jembatan? bayar dulu 2.000,
Kedua, ada pembangunan masjid nih, sedekah dong,
Ketiga, ada 6 titik putar balik, mau puter balik? kasih seikhlasnya sini,
Keempat, ada 1 titik musiman untuk bantuan agustusan/maulidan/HUT,
Kelima, mau lewat jalan sini? bayar seikhlasnya,
Keenam, mau nyebrang jembatan? bayar 2.000,
Ketujuh, anak-anak kecil usia 8 - 12 minta bantuan agustusan/maulidan/HUT,
Baru satu jalur berangkat kerja ini, sudah ada sebanyak itu pungli-pungli yang dibiarkan marak dan tahunan beredar disana, sampai semua orang berpikir hal seperti ini normal padahal tidak.
Saya kasih gambaran pulang kerumah saya, karena rute yang saya ambil berbeda. Dari sekian itu tadi ada 2 titik tambahan pungutan lagi dari anak-anak muda yang nongkrong sambil menaruh kardus/alat penampung bantuan ditengah jalan atau diarahkan ketengah jalan.
Sampai kapan negara ini bisa berjalan normal tanpa pungli? Jika semua itu diwajibkan, ibarat kalau ga ngasih kita terancam, berapa uang yang harus kita keluarkan untuk merasa aman melewati jalan tersebut? Bagaimana jika kita melewati jalan tersebut tidak hanya 1/2 kali melainkan berkali-kali dalam sehari? Berapa banyak uang yang harus kita keluarkan lagi sementara kita sudah membayar pajak yang besar dan makin besar tiap tahunnya itu?
Mari jangan kita normalisasi hal seperti ini, buat negara ini menjadi lebih baik tanpa pungli. Beri rasa aman dan nyaman kepada kami pembayar pajak ini. Kami muak dengan pungli yang bebas berkeliaran seperti ini, apa jadinya negara ini jika anak-anak sedari kecil sudah diajari untuk meminta-minta seperti ini, menurut saya ini kesalahan besar yang harus segera dihentikan.
umiatikah
No comments:
Post a Comment