Didalam Antwerp Central Station, sangat cantik. 2018. |
Saya yang sudah lemas tak berdaya hanya mampu menatap kosong ke arah pintu. Ada dua pintu diruangan saya, pintu biasa dibagian depan dan pintu geser didalamnya lagi. Dan saat itu dia disana, melirik kearah ruangan saya dengan baju flanel warna orange dan celana jeans berwarna biru, rambut tersisir rapi kearah kiri. Lalu dia melewati ruangan yang kemudian saya mengira dia adalah salah satu keluarga dari pasien lain, tapi beberapa detik kemudian dia masuk pelan-pelan keruanganku. Langkah pertama melewati pintu depan, lalu berbalik ke pintu belakangnya dan menggeser pintu tersebut agar sedikit tertutup. Lalu berbalik lagi kearah saya dan menangkupkan tangannya dan kalimat pertama yang muncul adalah, “Are you speaking Netherland? Or Mandarin?” yang otomatis membuat mata saya melihatnya dengan tatapan aneh sambil berkata, “No, English,”.
Setelahnya, dia mengambil spot kursi disamping kanan atasku,
hampir dekat dengan posisi kepalaku. Lalu hasil tes darah itu datang, bersamaan
dengan dia yang mulai membuka percakapan, “You need to have a surgery,” dibarengi kalimat lain yang tidak lagi bisa kudengar. Saya yang tak henti-hentinya
berdoa agar hasil tes darah mengatakan sebaliknya tiba-tiba mengeluarkan air mata,
sambil memutar kepala saya rada miring kearahnya dan mengulang kata surgery berkali-kali dan tetap tak dibantah olehnya. Sayapun akhirnya
paham, dia adalah dokter yang akan menangani saya mulai saat itu.
Lalu diapun berdiri dan mulai memeriksa perutku, anehnya
lagi dia tidak menekan sekeras dokter-dokter disini, dia hanya menyentuh perut saya dan bertanya, “is
it pain?” saya memicingkan mata aneh ke arahnya, apanya yang sakit orang cuma disentuh
doang bathin saya. Lalu dia memberitahu lagi kalau operasi hanya akan berlangsung
sangat singkat yakni 30 menit yang dalam bayangan saya dalam 30 menit saya bisa
langsung pergi ke Paris saat itu juga LOL. Lalu sayapun mengabari teman,
karena teman tidak memiliki paket data dan tidak bisa ditelepon, akhirnya saya
hanya mengiriminya whatsapp berharap
teman bisa membukanya saat mendapatkan wifi gratis.
Saat suster datang dan menyuruh saya berganti baju, dia
datang lagi dan kebingungan mencari saya yang saat itu sudah berdiri dan
berganti ke baju pasien. Lalu saya didorong ke ruang operasi, diserah-terimakan
ke perawat operasi dan saat itu saya melihat dia sedang bersiul-siul halus
melewati saya kearah ruangan operasi kami nantinya. Saya masih memicingkan mata heran dengan kelakuannya yang bagi saya saat itu aneh, weird, you named it. Diperjalanan keruangan operasi saya diberi selimut hangat oleh
staf lainnya, lalu diminta berjalan kearah meja operasi dan mulai dipasang
alat-alat operasi ke badan saya dengan kondisi ruangan yang sangat terang.
Berbeda dengan di Indonesia, di Indonesia kita masuk diruang
operasi dalam kondisi gelap dan hampir belum dipasang alat apapun saat akhirnya di bius atau anesthesia oleh sang dokter. Di Belgia
kita bahkan masih diajak mengobrol dan ditanyai oleh perawat-perawat disana. Dia
juga tiba-tiba datang ke saya dan mengatakan sesuatu dalam bahasa belanda yang
membuat saya sekali lagi memicingkan mata kearahnya, heran kok masih ditanyai pake bahasa
belanda wong dia tahu saya cuma ngerti bahasa inggris. Tapi itu juga pertama
kalinya saya melihat matanya secara lebih dekat, dan membuat dada saya cukup berdebar. Sampai
tidak sadar saya memalingkan muka karena takut dia bisa membaca mata saya saat itu, tidak elok.
Operasi berjalan dengan pertama-tama saya diminta menghirup
anestesi secara pelan-pelan. Beberapa kali hirup dan saya langsung tertidur
dengan nyaman, berbeda dengan di Indonesia yang mana anestesi langsung
disuntikkan di nadi saya melalu infus (mungkin). Karena yang saya ingat saya
langsung tertidur blek-sek setelah suntikan tersebut dilakukan, sangat kasar dan tidak nyaman.
Lalu tiba-tiba saya sudah di kamar ICU, dan sang perawat memberitahu saya bahwa
sudah saatnya saya sadar, diucapkan secara lembut dan halus. Sayapun bangun dalam kondisi
yang sangat nyaman sambil mencari-cari jam dan melihat saat itu pukul 21.00.
Lagi, berbeda dengan di Indonesia dimana saat bangun dari operasi suasana ruangan sangat ramai, penuh teriakan, dan tidak nyaman, pun juga rasa selalu mau muntah.
Beberapa waktu kemudian saya dipindah ke ruangan saya di
lantai 6, ruangan dengan dua pasien didalamnya. Lengkap dengan pemandangan ke
kota Antwerp yang amat menawan disana. Teman saya tetap setia disamping saya,
mengurus dokumen saya dan menghubungi pihak asuransi dan maskapai pesawat tanpa
henti (thank you so much Mur). Dia
lalu datang ke ruangan, mengecek kondisi saya, dan lagi, dengan sentuhan
halusnya memeriksa perut saya yang sudah berbalut perban tetap dengan
pertanyaan yang sama, “is it pain?”. Ya gimana bisa ngerasain, orang dia cuma
nyentuh kain bajunya doang, ga sampai nyentuh kulit malah. Lagi, saya memicingkan mata
ke dia sambil bergumam “apaan sih ni orang”.
Lalu dia bertanya kepada saya apakah saya ingin melihat foto
bagian yang dioperasi itu yang otomatis saya jawab dengan tegas “Nooo,”. Dia
sempat syok melihat reaksi saya, tapi teman saya langsung menjawab “Yes,” dan
meminta untuk dikirimkan ke whatsappnya. Saya paham maksud dia, mungkin foto
itu bisa dilampirkan di form asuransi nantinya, tapi dia tidak tahu kalau saya
teramat takut dengan hal berbau darah dan organ tubuh lainnya. Lalu dia bertanya
kembali apakah teman saya sudah mendapatkan hotel untuk tidur malam itu. Karena
saya merasa bersalah dengan teman dan merasa budget kami tak sebanyak itu sayapun menjawab “I need her to accompany me,” berharap agar teman bisa tidur disana.
Tapi karena peraturan di Rumah Sakit sana tidak mengijinkan
siapapun tidur di ruang pasien selain pasien itu sendiri, diapun berinisiatif
untuk menjelaskan ke perawat (yang kata dia perawat disana galak-galak) tentang
kondisi kita. Beberapa saat setelah dia pergi dia datang lagi dan memberitahu
kalau dia sudah menyampaikan ke perawat tersebut dan teman diperbolehkan untuk
tidur disana. Lucunya, tiba-tiba dia bilang;
“you
both can sleep in the same bed, you’re small so you both will be fit there,”
dan
sekali lagi membuat saya memicingkan mata sambil mikir “ni orang aneh amat sih,
lha wong saya habis dioperasi masak kita berdua disuruh tidur diranjang yang sama,
kalau kenapa-napa gimana dah,” lalu dia pergi.
Hari Ketiga dan Keempat di
Antwerp
Esok harinya teman mengurus dokumen dan pembayaran down payment saya, lalu dia dan sang
Dokter Utama datang, entah mereka berbicara apa karena saya masih dalam kondisi sadar
tak sadar. Tapi saya mendengar sang dokter mengatakan kepada teman saya untuk
tinggal. Iya teman saya hari itu harus pergi ke Paris karena esoknya dia harus
ke bandara pagi-pagi, teman terbang di jam 8 pagi. Saya yang juga dijadwalkan check out dari Rumah Sakit meminta
untuk penambahan hari karena saya merasa belum sembuh betul. Teman lalu kembali ke
hotel untuk mengambil koper kami, saat itu juga dua teman dari PPI Antwerp
datang untuk menjenguk dan membantu mengurus administrasi saya (Thanks to Mbak Nenden yang menghubungi PPI serta PPI Antwerp Mbak Evi, dan Mbak Umi). Teman lalu
pergi, tersisa teman PPI Antwerp disana. Namun sorenya teman PPI ini pulang ke
apartemen masing-masing karena mereka sedang dalam masa ujian juga. Masih
kontak-kontakan dengan Teman, ternyata Teman ketinggalan bus untuk ke Parisnya dan akhirnya teman membeli tiket kereta cepat yang mahal luar biasa. Tapi harapan untuk tiba di Paris secepatnya harus tandas, karena teryata kereta cepat tersebut kena delay sampai 1 jam dan masih juga berhenti-berhenti di perjalanan.
Chat dengan Teman membicarakan kereta cepat yang telah dan akan kami gunakan. |
Sebenarnya saya tidak disarankan untuk terbang saat itu dan
diminta untuk tinggal di Belgia. Namun saya tidak punya teman ataupun saudara
untuk saya repotkan disana, jadi saya akhirnya diijinkan untuk terbang dengan beberapa
kondisi. Pertama, saya harus naik kereta ke Paris dengan kereta cepat, tidak
boleh dengan bus. Kedua, saya harus menjalani tes terlebih dahulu sebelum keluar rumah
sakit. Jika test menyatakan kondisi saya layak terbang, maka saya boleh
terbang, begitu pula sebaliknya.
Nah setelah dia pergi lagi, lalu dia datang (lagi) dengan
perawat yang mengambil darah saya untuk keperluan test tadi. Saya melihatnya
berjalan ke arah meja/lemari didepan saya sambil melirik dan membuka hpnya.
Sayapun melihatnya sembunyi-sembunyi dengan tatapan sedih karena saya tidak akan bisa melihatnya
lagi setelah itu. Sekitar pukul 04.00 dia dan perawat datang dan
mengabari kalau hasil test menyatakan bahwa saya diperbolehkan terbang (pulang). Lalu sayapun bersiap karena
pukul 6 pagi saya harus meninggalkan ruangan tersebut.
Tepat pukul 05.50 saya masih menunggu jemputan dari KBRI untuk datang membawa saya ke Stasiun Brussel Noord didalam ruangan pasien (Thanks to Pak Ivan, Istri, dan satu orang KBRI lainnya). Nah saat itu perawat datang dan mengusir saya karena saya benar-benar harus keluar dari ruangan tepat jam 06.00 hahaha. Se-strict itu disana perkara jam check out pasien. Lha saya kan tidak bisa berjalan sendiri juga, tidak tau rute keluarpun, saya pikir saya akan diantar oleh perawat kan, jadi saya menunggu. Tapi sang perawat juga akhirnya menanyai saya apakah saya mampu berjalan keluar sendiri atau membutuhkan assistancy. Yang kemudian saya dipanggilkan dan diantar oleh perawat lain ke arah emergency sambil menunggu jemputan datang.
Tepat pukul 05.50 saya masih menunggu jemputan dari KBRI untuk datang membawa saya ke Stasiun Brussel Noord didalam ruangan pasien (Thanks to Pak Ivan, Istri, dan satu orang KBRI lainnya). Nah saat itu perawat datang dan mengusir saya karena saya benar-benar harus keluar dari ruangan tepat jam 06.00 hahaha. Se-strict itu disana perkara jam check out pasien. Lha saya kan tidak bisa berjalan sendiri juga, tidak tau rute keluarpun, saya pikir saya akan diantar oleh perawat kan, jadi saya menunggu. Tapi sang perawat juga akhirnya menanyai saya apakah saya mampu berjalan keluar sendiri atau membutuhkan assistancy. Yang kemudian saya dipanggilkan dan diantar oleh perawat lain ke arah emergency sambil menunggu jemputan datang.
Malam itu, dia berkali-kali bilang ke saya untuk
mengabarinya sesampainya saya di bandara, pesawat, ataupun sesampainya di Indonesia. Dia juga menawarkan untuk mencarikan taxi agar saya bisa sampai di Stasiun dengan selamat.
Saya cukup terharu dengan perhatiannya (namun saya juga sadar itu mungkin
bagian dari pelayanannya disana), tapi karena saya sudah dibantu oleh teman PPI untuk
mendapatkan tumpangan dari KBRI maka saya menolak. Setelah diantar oleh pihak KBRI sampai di Brussel Noord, saya juga
dibelikan minuman dan croissant oleh
mereka. Kemudian saya berpamitan dengan mengucapkan banyak terimakasih kepada mereka. Tanpa mereka saya tak mungkin sampai di Stasiun dengan kondisi seperti
itu.
Lamanya perjalanan saya untuk sampai di Indonesia dari Paris. |
Sampai di Indonesia saya sangat lega karena saya bisa
berbahasa indonesia lagi ke staf kursi roda yang menjemput saya, pun dua teman
saya telah menanti saya disana untuk menemani saya terbang ke Solo tempat lahir
saya (Thanks Echa & Firman). Sampai Jakarta saya masih harus terbang ke Solo lalu ke Rumah Sakit untuk
mengecek jahitan yang syukurnya tidak ada pendarahan atau apapun itu. Sayapun
langsung menghubungi dia kembali untuk memberitahu kondisi saya. Sampai beberapa
hari kemudian saya terkaget melihat layar ponsel saya karena dia masih juga menghubungi saya sampai tahun 2020 ini. Dan saya juga baru tahu namanya hampir 2 bulan setelah kami bertemu untuk pertama kalinya.
Semua pertolongan orang-orang saat itu sangat berarti bagi saya. Tanpa bantuan mereka saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya saat itu. Lebih dari setahun kemudian saya bertemu dengan teman lagi di Bekasi. Disana dia bercerita tentang yang dia alami saat saya sedang dalam kondisi di bius. Saat saya masuk ke ruang operasi, teman saya harus berjuang sendirian mengurus dokumen-dokumen saya. Diapun kerepotan karena harus membawa barang-barang saya saat pihak rumah sakit tidak mau dititipi barang-barang kami. Pun teman harus mencari lokasi print untuk mengeprint beberapa dokumen karena rumah sakit tidak mau menolong untuk mengeprintkan dokumen itu.
Tidak hanya itu, sekembalinya teman dari mengeprint dokumen yang lokasinya lumayan jauh dari rumah sakit, dia juga harus ditanyai ini itu tentang saya disana oleh pihak pemerintah mungkin. Mungkin saya dicurigai sebagai imigran gelap yang hanya menginginkan rawatan medis gratis disana. Padahal kami hanyalah traveler yang tak sengaja kena musibah disana. Dan lagi kita ada asuransi traveling kesana sebagai syarat wajib untuk mendapatkan visa, kalau tidak ya ambyar.
Tetap sebaik-baiknya fasilitas dan layanan yang mereka berikan, tidak bisa dibandingkan dengan kemudahan di negara kita sendiri. Seperti menitipkan tas atau meminta diprintkan dokumen misalnya. Disana sangat strick dan tegas, sampai makan hati sendiri kalau kita tidak sabar. Tapi dari semua itu saya dan teman mendapat pelajaran dan pengalaman yang berharga. Sakit bisa muncul kapan saja tanpa kita ketahui pastinya, jadi asuransi travel memang sangat kita perlukan dalam hal seperti ini. Bukan iklan, saya hanya berbicara dari pengalaman saya sendiri. Tanpa asuransi itu, saya bisa kepayahan karena harus membayar 70 Juta sendirian, untungnya semua tercover oleh asuransi itu. Untungnya juga asuransi travel dijadikan syarat untuk membuat visa ke EU, kalau tidak mana mungkin saya beli asuransi saat itu.
Tulisan dibuat pada 03 September 2020.
Tulisan dibuat pada 03 September 2020.
No comments:
Post a Comment