Jakarta & Transit
di Vietnam
Hari yang dinanti setelah berbulan-bulan menunggu perjalanan
ini dimulai akhirnya tiba. Saya sangat ingat saat itu tanggal 5 Mei 2018, pesawat Vietnam Airlines yang akan saya tumpangi dari CGK menuju Vietnam lalu
ke Paris akan berangkat pada pukul 13.55 dan akan sampai di CDG esok harinya
pukul 06.30. Saya yang sudah tidak sabar untuk berangkat ke bandara memutuskan
untuk berangkat pukul 07.00 pagi dari Purwakarta. Aslinya saya tidak mau
kejadian saat saya pergi ke Malaysia terulang lagi, yakni kena macet sampai 8
jam. Kan ga lucu kalau sampai saya ketinggalan pesawat ke eropa yang
notabenenya gratis ini, lihat postingan ini.
Ternyata arah Purwakarta ke Bandara CGK pagi itu sangat
mulus sampai-sampai pukul 09.00 pagi saya sudah tiba di CGK. Apesnya, saya
harus menunggu sampai pukul 12.00 untuk check-in pesawat dan itu sangat
membosankan. Sayapun akhirnya mencari makanan untuk mengganjal perut sekalian
duduk didalam restoran karena males juga menunggu pesawat selama 5 jam diluar
kan. Setelahnya saya langsung masuk ke area tunggu di Terminal 3 dan
mengasyikkan diri tidur-tiduran didalam sana.
Pukul 13.55 tepat, pesawat melaju ke arah Tan Son Nhat
International Airport atau Ho Chi Minh Saigon Airport (SGN) dengan jarak tempuh selama 3 jam. Dalam
perjalanan itu saya mendapat handuk basah hangat, serta tisu basah serta
cemilan, juga makan siang yang terbilang enak. Saat itu saya sudah menginformasikan
untuk diberikan makanan halal dalam perjalanan saya menggunakan Vietnam
Airlines ini. Enaknya jika meminta makanan khusus (dalam hal ini makanan Halal), kita akan mendapat service layanan makanannya pertama kali sebelum pramugari melayani penumpang lainnya.
Sampai di Saigon, saya lalu memutuskan untuk keluar ke kota
Ho Chi Minh karena masih ada waktu transit selama 5 jam sebelum terbang kembali menuju Paris. Lumayan juga kan bisa dapat satu stempel tambahan di pasport beserta
pengalaman melihat kota terbesar di Vietnam ini seperti apa. Beruntungnya, saya
mendapat kenalan yang saat itu dijemput oleh sopir suaminya dan saya diantar
menuju Ben Thanh Market. Karena waktu di Vietnam dengan di Indonesia sama, saya
tidak terlalu merasakan jetlag dan asyik-asyik saja berjalan disana sendirian. Yang
bikin saya kaget adalah banyak sekali turis asing disana, berbeda dengan di
Jakarta atau kota besar selain Bali di Indonesia lainnya.
Di Ben Thanh Market saya hanya berkeliling dan melihat-lihat
barang yang dijajakan sambil membeli dompet khas sana seharga VDong 60k atau
sebesar IDR 38k, lumayan dapat 6 dompet kecil. Disana gedung-gedung pencakar
langit lebih heboh ketimbang di Jakarta. Untuk transportasinya sendiri ada
bus-bus macam di Korea lengkap dengan halte yang memiliki kesamaan dengan
bentuk dan sistem di Korea. Tapi saya lebih memilih Grab untuk kembali ke
Bandara, karena Bus juga bisa kena macet parah disana, saya tak mau ambil
resiko. Nah, lucunya disini, saya menuju ke salah satu tukang Grab disana dan
mencoba untuk menge-link-kan aplikasi
kita agar bisa segera connect ke dia.
Maksud saya biar saya tidak menunggu driver
lain gitu, tapi karena adanya perbedaan & keterbatasan bahasa, akhirnya
kita hanya menggunakan bahasa isyarat. Lalu masnya mau mengantar saya ke
Bandara dengan harga yang sama dengan di Grab tanpa perlu meng-connect-kan aplikasi kita.
Saya awalnya agak was-was takut kena scam, tapi saat sampai
di Bandara saya lega juga karena yang saya bayar benar sesuai dengan yang
diaplikasi Grab. Kalau tidak salah saat itu saya hanya membayar kurang lebih VDong
40k atau IDR 25K padahal jaraknya lumayan jauh. Mengerikannya, pengemudi motor
disana lebih menakutkan dari yang di Indonesia, saya sampai ketakutan karena
hampir saja kesrempet oleh bus. Kayaknya memang busnya mau cari gara-gara sih,
ngebut gila gitu sampai menyerempet motor-motor didepannya, untungnya kami
selamat.
Sampai di Bandara, saya diarahkan oleh mas Grabnya ke jalan
yang digunakan pengguna ojek lainnya. Tapi saya cukup bingung karena malah
masuk di area penerbangan domestik. Lalu saya bertemu seseorang dan karena
orang tersebut juga mengarah ke Bandara Internasional akhirnya saya diajak
barengan. Sampai Bandara saya langsung check-in, tapi saat sampai di imigrasi saya sempet tertahan sebentar sampai sang
petugas bertanya ke petugas lainnya dengan membawa passport saya, tapi setelah
itu saya disuruh jalan lagi sih. Disana, kami diwajibkan melepas sepatu untuk
dilakukan pen-scan-an, keluar
imigrasi sudah langsung di area boarding-loungenya. Lalu pukul 22.10 tepat, pesawat melaju ke arah Paris, tidak ada delay
sama sekali.
Welcome to Paris
Yap, itu yang saya rasakan saat pesawat mulai take-off ke
arah Paris. Saya merasa excited dan
deg-degan, apalagi itu pertama kalinya saya ke eropa dan hampir 80% penumpang
di pesawat adalah orang berkulit putih semua. Sebelah saya merupakan pasangan
kekasih, saya tidak sempat mengajak mereka bicara karena saya grogi saat itu. Tapi
karena saya duduk disebelah jendela dan sedang menstruasi hari
kedua serta sedang pada volume sebanyak-banyaknya, saya berkali-kali harus mengganggu mereka
untuk keluar masuk kursi menuju toilet.
Sama dengan saat perjalanan dari Jakarta ke Vietnam tadi,
kami juga mendapat handuk hangat basah, tisu, serta cemilan, berikut juga makan
malam dan sarapan. Makanan VA ini sangat enak, sampai saya kekenyangan karena
berhasil menghabiskannya tanpa sisa (makanan utamanya ya, tidak termasuk roti
dan saladnya). Saya yang sangat excited
tidak bisa tidur dan terus melihat ke arah jendela lanjut ke layar dan jendela
lagi. Saya melewati Bay of Bengal, gurun
pasir yang terlihat jelas dari atas langit, lalu masuklah ke dataran eropa
dengan banyaknya kincir angin dan tanah yang hijau oleh pepohonan yang rindang.
Bangun tidur sudah berada di dataran Eropa, 6 Mei 2018. |
Lalu tibalah saya di Paris, tepat pada pukul 06.30 saya menginjakkan kaki di Benua Biru, di dataran Eropa untuk pertama kalinya, "Hei Eropa, Hei Paris!". Udara yang dingin menerpa kulit saya setibanya saya di garbarata, berikut juga dengan foto-foto pernikahan sesama jenis yang dipampang sebagai welcome pictures disisi kanan dan kiri garbaratanya. Lalu saya berjalan menuju ke bagian imigrasi yang penuh dengan orang-orang dari
berbagai belahan dunia serta berbagai warna dengan satu niatan yang sama: untuk sama-sama masuk ke dataran eropa.
Saat itu saya terapit oleh orang-orang berkulit hitam yang sangat tinggi-tinggi, dan itu juga pertama kalinya saya berinteraksi dengan orang berkulit hitam. Sampai di imigrasi saya lolos begitu saja tanpa ada pertanyaan apapun, lalu lanjut ke area bagasi untuk mengambil koper dan naik ke Departure Area untuk membeli Orange Card atau paket data di Relay. Orange Card banyak di rekomendasikan oleh orang-orang yang pernah datang ke Paris karena paket internetnya yang 10 GB masih dengan tambahan paket telpon gratis kemana saja selama beberapa jam (paket telpon ini akhirnya terpakai untuk menelpon pihak asuransi dan maskapai saat saya ada musibah di Belgia, baca disini dan disini), harganya saat itu €39.99 hampir IDR 700k, mahal ya.
Setelah dibantu aktifasi oleh pegawai Relay lalu saya menghubungi Teman yang telah berada di eropa
semenjak seminggu sebelumnya. Kami berjanji untuk bertemu di Gare Du Nord dan berjalan-jalan bersama
selama seminggu kedepannya. Lalu naiklah saya ke kereta dari CDG menuju GDN
hingga akhirnya saya bertemu Teman disana sekaligus menitipkan koper kami karena
kami tidak menyewa hotel hari itu. Kenapa kami tidak menyewa hotel? Karena malamnya
kami harus menuju Amsterdam Belanda dengan Ouibus.
Saat itu saya terapit oleh orang-orang berkulit hitam yang sangat tinggi-tinggi, dan itu juga pertama kalinya saya berinteraksi dengan orang berkulit hitam. Sampai di imigrasi saya lolos begitu saja tanpa ada pertanyaan apapun, lalu lanjut ke area bagasi untuk mengambil koper dan naik ke Departure Area untuk membeli Orange Card atau paket data di Relay. Orange Card banyak di rekomendasikan oleh orang-orang yang pernah datang ke Paris karena paket internetnya yang 10 GB masih dengan tambahan paket telpon gratis kemana saja selama beberapa jam (paket telpon ini akhirnya terpakai untuk menelpon pihak asuransi dan maskapai saat saya ada musibah di Belgia, baca disini dan disini), harganya saat itu €39.99 hampir IDR 700k, mahal ya.
Paris dari atas, tepat sebelum pesawat mendarat di CDG. |
Setelah bertemu dengan Teman, kami mulai mempersiapkan diri
di toilet stasiun karena saya baru saja turun dari pesawat setelah hampir 2
hari perjalanan, juga karena Teman baru datang dari Berlin dan menempuh hampir
seharian naik bus ke Paris. Praktis kami seperti dodol waktu itu karena belum
mandi dan lain-lainnya selama perjalanan ke Paris. Setelahnya kami lanjutkan
jalan kaki keliling Paris dan saya berasa masuk ke dimensi lain saat
menginjakkan kaki keluar dari stasiun. “Ini
dia, Eropa” bathin saya kegirangan saat melihat gedung-gedung arsitektur
eropa disekeliling saya. Teman saya cukup pengertian dengan mengatakan kepada
saya “terserah kamu Mi mau naik apa, kamu
kan baru nyampe jadi nikmati aja kalau mau jalan kaki,” dan kami berjalan
kaki tanpa arah hingga berujung ke Menara Eiffel malam harinya.
Rute yang kami lalui selama sehari di Paris dengan berjalan kaki, 6 Mei 2018. |
Dari Gare Du Nord kami jalan kaki lurus ke bawah ke arah Grevin
Museum lalu lanjut masuk melewati passage
des panoramas sampai akhirnya leyeh-leyeh di area Jardin du Palais Royal. Di
JdPR kami berfoto-foto ria sambil ngadem karena Paris saat itu sangat terik
tanpa ada angin yang berhembus, berbeda dengan saat pagi tadi yang dingin. Kami lanjut kembali ke arah Musee De Louvre
yang meskipun panas membahana kami tetap foto sana sini sampai akhirnya
kelelahan sendiri. Teman sebenarnya mengajak saya untuk masuk ke Museum, namun
karena saya tidak begitu tertarik dengan museum akhirnya teman berencana untuk
masuk kesana sabtu depan (karena Jumat malam sampai minggu depannya kami
kembali ke Paris, namun rencana tinggal-lah rencana, baca ini).
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke arah Musee de l’Orangerie dengan melewati Jardin des Tuileries yang penuh dengan orang-orang yang menikmati harinya di cuaca cerah yang jarang mereka dapati. Apalagi saat itu masih perpindahan antara musim semi ke musim panas yang otomatis membuat orang keluar untuk sun-bathing di taman-taman kota. Bahkan saat kami berjalan ke arah Hotel des Invalides di kanan kiri jalan banyak sekali orang-orang yang hampir saja topless saking senangnya bermandikan matahari disana. Kami (saya terutama), tentu saja syok melihatnya karena itu pertama kalinya saya melihat orang-orang ber-sun-bathing ria ditengah kota, namun saya berusaha memahami mereka.
Kami lalu berjalan kembali ke arah Menara Eiffel,
kami sempatkan pula untuk membeli gelato di Amorino. Kami sengaja membeli
disana karena antrian mengular panjang didepannya, tetep stigma “banyak pembeli berarti enak” membuat kami tergoda untuk turut ikut mengantri
disana hahaha. Kami lanjut membeli buah di Les Halles Bosquet dekat dengan
Amorino tadi. Kami membeli buah tersebut karena Teman saya saat itu
tergila-gila dengan buah Peach (efek Timothee Chalamet), jadi sayapun ikut
membelinya. Dengan harga €1 kami mendapatkan 4 buah Peach yang kami bagi dua sama rata. Apesnya
saya selalu mendapat Peach dengan rasa yang asam sementara Teman selalu mendapat Peach dengan rasa yang manis LOL.
Saat itu kami menikmati buah Peach di Champ deMars di area Menara Eiffel dengan suasana matahari tenggelam yang sangat indah
dilihat dari sana. Kami lalu berjalan mendekat ke arah Menara Eiffel dan
berfoto ria disana. Teman saya sebenarnya mengajak untuk masuk ke area Menara,
namun saya melihat ada seng-seng biru melingkari kaki Menara yang membuat kami
mengurungkan rencana tadi dan buru-buru menuju Gare du Nord untuk mengambil
koper kami. Saat membeli tiket subway, kami cukup kesulitan dengan pilihan yang
ada hingga beberapa menit kemudian kami sukses mendapatkan tiketnya.
Sampai Gare du Nord teman langsung mengambil
koper sementara saya membeli tiket lagi untuk menuju ke arah Paris Bercy dimana
Ouibus kami berada. Sayangnya karena terdapat kesulitan lagi, saya harus
menunggu teman untuk mendapatkan tiket yang benar. Setelahnya kami masuk ke
area stasiun dan mendapati kami salah masuk peron disana. Rada tricky karena banyaknya lantai yang ada
membuat kami kesulitan menemukan peron yang tepat. Apalagi orang-orang disana
tidak juga mau membantu saat kami tanyai. Lalu kami sampai di peron yang benar
dan menuju ke Paris Bercy dengan mengharap tidak ketinggalan bus yang tinggal
beberapa menit lagi menuju ke Amsterdam.
Sesampainya di Paris Bercy, kami kebingungan
karena tidak ada sign yang mengarahkan kami ke ouibus. Beruntungnya, ada orang
yang mengarahkan kami kesana karena mereka juga sama-sama menuju ke bus
tersebut. Pas sekali sampai di bus sang sopir sudah mengecek tiket maupun
passport penumpang disana. Meskipun ngos-ngosan, kami berhasil on-time dan masuk di bus dengan perasaan
lega. Kalau kami telat beberapa menit saja, sudah pasti kami akan
ditinggal begitu saja. Beberapa menit setelah kami duduk didalam Bus dan tepat
pada pukul 23.00 Bus mulai berjalan ke arah Amsterdam. Bersambung...
Tulisan dibuat pada 04 September 2020
No comments:
Post a Comment