Aksara Honocoroko. Foto dari Google. |
Beberapa waktu yang lalu saya
mendapat notifikasi pada email dan linkedin saya untuk mencoba peruntungan bekerja menjadi penerjemah Bahasa Jawa ke Bahasa Inggris oleh salah satu
perusahaan dari Luar. Karena saat itu saya sedang jenuh-jenuhnya dengan
pekerjaan sehari-hari saya, maka saya-pun mencoba untuk melengkapi syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
mengikuti test pekerjaan tersebut. Riwayat Kerja yang semenjak 2014 lalu tak
pernah saya perbaharui akhirnya saya perbaharui, lengkap dengan skill yang saya
miliki setelah bekerja hampir 6 tahun di perusahaan sekarang. Saya unggah
Riwayat Kerja saya tersebut serta mengisi formulir-formulir yang ada, sampai akhirnya
saya harus mengikuti test secara daring.
Email dari salah satu perekrut. |
Nah, disini cerita yang sebenarnya
dimulai, saya yang merasa sangat jago berbahasa Jawa Ngoko sejak lahir harus
mempertanyakan kembali pembendaharaan bahasa saya itu. Test yang saya lalui
sebenarnya cukup dengan mendengar kalimat yang diucapkan oleh seseorang via
sistem dengan Bahasa Jawa, lalu saya harus menerjemahkannya dengan Bahasa
Inggris. Ada 20 pertanyaan yang harus saya jawab tanpa batas waktu saat itu. 8-10
awal pertanyaan cukup mudah bagi saya untuk menerjemahkannya. Namun, memasuki pertanyaan
lanjutan, saya cukup mengalami kesulitan karena tingkat Bahasa Jawa yang
digunakan tidak pernah saya pakai di-keseharian saya atau bahkan tidak saya ketahui
artinya.
Saya-pun cukup kaget dengan pembendaharaan kata dalam Bahasa Jawa yang ternyata ada 4 tingkatannya. Setelah test saya lalui, saya-pun mulai mencari informasi terkait tingkatan Bahasa Jawa ini yang ternyata terkategorikan menjadi:
Saya-pun cukup kaget dengan pembendaharaan kata dalam Bahasa Jawa yang ternyata ada 4 tingkatannya. Setelah test saya lalui, saya-pun mulai mencari informasi terkait tingkatan Bahasa Jawa ini yang ternyata terkategorikan menjadi:
- Bahasa Jawa Ngoko
- Bahasa Jawa Madya
- Bahasa Jawa Krama Inggil
- Bahasa Jawa Kawi
Tapi jika dirunut lagi, ternyata
Bahasa Jawa memiliki tingkatan lagi yang sampai sekarang belum saya ketahui.
Sehari-hari saya biasa menggunakan Bahasa Ngoko yang ternyata juga sudah
tercampur-campur dengan Bahasa Jawa Madya serta Bahasa Jawa Krama Inggil. Kalau
diminta untuk memberikan tabel perbedaan per suku kata jelas saya tidak bisa membedakannya.
Hanya saja sesuai insting, untuk berbicara dengan orang yang lebih tua saya
berusaha untuk menggunakan Jawa Madya dan Krama Inggil, meskipun juga akhirnya
semuanya kecampur-campur lagi.
Kamus Bahasa Jawa per tingkatan. |
Saya merasa, pelajaran Bahasa
Jawa yang selama ini diajarkan di Sekolah-sekolah masih belum bisa menjangkau
pembendaharaan kata seperti yang saya tulis diatas. Kita hanya diajarkan
tentang tekstualnya saja dan cara menulis hanacaraka saja tanpa diberi
pengetahuan yang lebih jelas untuk mengetahui maksud bahasa itu sendiri apa. Pun jika diminta untuk membuat huruf hanacaraka sekarang sudah pasti saya tidak bisa.
Semenjak
saya di sekolah dasar, saya benar-benar tidak paham Bahasa Jawa yang diajarkan
oleh sang guru. Bisa jadi karena sang guru hanya meminta kita mennjawab soal dengan
jawaban yang ada pada halaman-halaman cerita sebelum pertanyaan dibuat. Hanya diminta
mengisi pertanyaan di Lembar Kerja Siswa (LKS) dan sudah begitu saja sampai
nanti kita ujian. Lebih parahnya lagi sang guru tidak hadir di kelas dan
siswapun merasa senang akan ketidakhadirannya, padahal seharusnya tidak seperti
itu.
Saya merasa, pembelajaran mata
pelajaran apapun awalnya harus memberikan pengertian kepada siswa itu sendiri
akan fungsi dan tujuan mata pelajaran tersebut. Misal untuk Bahasa Jawa, fungsinya
agar Bahasa tidak punah dengan tujuan melestarikan bahasa kita yang sudah
menjadi bahasa lahir bahkan sebelum kita ada atau lainnya. Sayang sekali jika
sampai Bahasa Jawa kita ini punah, apalagi dengan adanya Bahasa Indonesia juga
yang menjadi bahasa pemersatu bangsa yang juga dipakai dikeseharian kita.
Lalu beberapa hari lalu saya
bertemu dengan teman yang sekarang tinggal di Purwodadi. Kebetulan saya sedang
pulang ke kampung dan kamipun bertemu di rumah saya. Saat itu teman saya
bercerita bahwa hari sebelumnya ia berkunjung ke suatu daerah bernama Sukolilo
di Kabupaten Pati. Dari cerita yang saya dengar dari teman ini, dia bilang
bahwa daerah Sukolilo tersebut masih menjaga budaya jawanya dengan sangat kental. Dalam kesehariaan, anak-anak
di desa tersebut diajarkan untuk berbahasa jawa, bahkan untuk semua pengunjung
yang kesana diwajibkan untuk berbahasa jawa juga, entah memakai Krama Inggil, Madya,
atau Ngoko-pun (Yang diwajibkan hanya untuk mereka yang memang memiliki dasar Bahasa
Jawa ya).
Mereka juga sejak kecil sudah
diajarkan untuk ikut membantu orang tua mereka bertani di sawah, menari jawa,
menyanyikan tembang jawa, gamelan, dan diajari semua kebudayaan jawa yang masih asli dan
bisa dibilang murni. Mereka juga tidak memiliki televisi dan kegiatan sehari-hari masih seperti sebelum adanya televisi didunia ini. Yang
membuat teman saya kagum adalah saat anak-anak tersebut ditanyai tentang
cita-cita mereka, mereka menjawab “Saya ingin menjadi seperti orang tua saya.” ya,
menjadi seperti orang tua mereka. Bisa dilihat bahwa sejak kecil mereka diajari
untuk menghormati orang tua mereka sendiri sesuai nilai-nilai adat jawa.
Saya cukup penasaran dengan desa
itu, mungkin lain waktu saya akan menyempatkan diri untuk berkunjung kesana.
Saya ingin melihat bagaimana kehidupan masyarakat disana serta cara belajar
mengajarnya. Apakah kunjungan saya kesana akan membuka mata saya akan hal-hal
tentang budaya Jawa yang belum saya ketahui atau lain-lainnya. Saya jadi ingat
tentang Srintil di buku Ronggeng Dukuh Paruk saat teman bercerita akan desa ini. Srintil yang hidup di desa yang jauh dari kampung-kampung lain dan menjadi ronggeng disana.
Papan tulis di desa sukolilo. Kredit poto dari Puspa (IG: puspa_aqm). |
Kredit poto dari Puspa (IG: puspa_aqm). |
Saya berharap kedepan bisa
belajar tentang Bahasa Jawa sampai tingkatan lanjut lagi. Tapi kadang saya
bertanya ke diri saya sendiri apakah saya mampu belajar dari awal lagi karena
saat ini saya-pun memiliki keinginan untuk belajar bahasa lain. Namun, saya
merasa gagal menjadi orang yang lahir di Jawa karena hanya bisa
mencampur-campur bahasa tanpa tau pada tingkatan apa bahasa yang saya gunakan
selama ini. Tapi, saya juga beranggapan bahwa selama saya masih bisa bercakap Bahasa
Jawa dengan orang tua, teman, dan orang lain meskipun itu Ngoko atau Krama tidak
akan menjadi soal. Yang jadi soal sepertinya ialah jika saya harus berbahasa Jawa
dipertemuan formal karena tidak mungkin saya menggunakan Ngoko pada saat itu, tidak
sopan.
Namun, saya juga khawatir jika
akhirnya semua orang tidak mengerti tentang tingkatan bahasa ini. Karena
orang-orang tua yang menggunakan Bahasa Jawa level Karma itu sudah tiada, dan
anak-anak sekarang mulai merasa bahwa Bahasa Jawa tidak se-gaul jika memakai Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, ataupun Bahasa
Inggris. Pengaruh bahasa yang datang dari luar Suku ini sendiri sudah
mulai membentuk pola pikir masyarakat bahwa menggunakan Bahasa Jawa itu tidak
keren, lebih keren memakai Bahasa Indonesia katanya. Saya mendengar sendiri
dari mantan kakak ipar saya yang menowel
anaknya karena memakai Bahasa Jawa dengannya, malah si Ibu mengatakan untuk
memakai Bahasa Indonesia saja karena Bahasanya lebih bagus. Saya cukup terkejut
mendengar hal itu, sampai akhirnya saya sampaikan bahwa semua bahasa itu tidak ada yang
buruk.
Tidak hanya pengaruh Bahasa luar tadi, pengaruh tempat tinggal-pun juga tidak kalah penting. Seperti teman-teman saya yang orang tuanya merupakan orang jawa yang sekarang tinggal di luar jawa contohnya. Semua teman saya tadi dikeseharian hanya memakai Bahasa Indonesia. Namun saat dirumah orang tua mereka memakai Bahasa Jawa yang akhirnya si anak ikut paham tentang Bahasa Jawa itu. Pada akhirnya pun, mereka hanya ditingkat paham tentang bahasa jawa namun tidak pernah mempraktekkannya, mereka hanya mengerti tapi tidak pernah sampai bisa saling bercakap. Ironis bukan?
Kembali ke test tadi, akhirnya
sayapun gagal untuk mendapatkan pekerjaan sampingan itu karena ketidaktahuan
saya akan arti beberapa kata. Misal Cemeng yang dikeseharian saya tahunya hanya
Ireng (Hitam), atau Tuwuk yang saya pahami hanya Wareg (Kenyang). Bahkan saat
diberi kesempatan menjalani test untuk kedua kalinya (dengan soal yang berbeda), saya tetap gagal. Belum rejeki saya memang, ya sudah mungkin saya memang
diharuskan untuk belajar lagi mengenal Bahasa lahir saya sendiri.
Oh ya, untuk Bahasa Jawa yang
saya ceritakan ini Bahasa Jawa Solo ya, karena seperti yang kita ketahui Bahasa
Jawa per wilayah sudah berbeda-beda. Contohnya saja Jawa Ngapak di wilayah Tegal
atau Bahasa Jawa Surabaya-nan. Suku kata dan arti antar sesama wilayah ini
meskipun sama-sama Bahasa Jawa tetapi sudah sangat berbeda dengan Bahasa Jawa
Solo. Lucu ya.
No comments:
Post a Comment