Japan through Hida Train, on my way to Takayama. |
Jepang, 23 November – 1 Desember 2019
23112020 Jakarta ke Tokyo
Autumn merupakan bulan dimana coat-coat yang bersarang di lemari mulai dikeluarkan, warna-warna cokelat dedaunan, serta dingin musim dingin yang perlahan mulai datang. Saya suka musim gugur, melihatnya via foto di internet saja sudah membuat saya jatuh cinta, pun teman saya. Oleh karena itulah saya dan teman saya akhirnya memutuskan kesana dengan persiapan awal membeli tiket dan mengajukan visa disini.
23112020 Jakarta ke Tokyo
Autumn merupakan bulan dimana coat-coat yang bersarang di lemari mulai dikeluarkan, warna-warna cokelat dedaunan, serta dingin musim dingin yang perlahan mulai datang. Saya suka musim gugur, melihatnya via foto di internet saja sudah membuat saya jatuh cinta, pun teman saya. Oleh karena itulah saya dan teman saya akhirnya memutuskan kesana dengan persiapan awal membeli tiket dan mengajukan visa disini.
Tanggal 23 November tiba, saya yang
berangkat dari Purwakarta sudah bersiap diri menanti Bus Damri kedua pukul
02.00 pagi di pinggir jalan. Lama menanti akhirnya bus datang sekitar pukul
02.35, saya masuk ke Bus disambut dengan dendangan lagu-lagu lawas tahun '90-'00an yang dimainkan via musik player oleh Bapak sopir. Saya merupakan satu-satunya penumpang pada pagi itu dan harus membayar 75ribu untuk biaya Busnya menuju ke
Bandara CGK. Pukul 04.35 saya sampai di Terminal 3 bablas menuju ke toilet dan
bertemu teman di pintu keberangkatan untuk check-in bersama.
Tak lama menanti kamipun menaiki pesawat yang tepat pukul 6.25 mulai lepas landas menuju Tokyo dengan total perjalanan 7 jam. Tujuh jam yang membosankan karena film-film di JAL Airlines ternyata tidak begitu banyak dan tombol layarnya-pun tidak bisa dipakai. Lumayan kecewa juga sudah bayar mahal-mahal tapi entertainment-nya cuma sedikit dan tidak menghibur sama sekali. Memasuki area langit di Jepang, pesawat mendadak turbulance berkali-kali. Ternyata memang Jepang saat itu sedang hujan dimana-mana, gunung fuji yang sangat ingin kami lihat dari atas juga gagal terlihat karena tertutup awan yang tebal. Begitu juga sampai saat kami mau mendarat di NRT, awan gelap dan turbulance masih menjadi kawan setia sampai akhirnya pesawat landing dengan mulus di dataran Jepang.
Tak lama menanti kamipun menaiki pesawat yang tepat pukul 6.25 mulai lepas landas menuju Tokyo dengan total perjalanan 7 jam. Tujuh jam yang membosankan karena film-film di JAL Airlines ternyata tidak begitu banyak dan tombol layarnya-pun tidak bisa dipakai. Lumayan kecewa juga sudah bayar mahal-mahal tapi entertainment-nya cuma sedikit dan tidak menghibur sama sekali. Memasuki area langit di Jepang, pesawat mendadak turbulance berkali-kali. Ternyata memang Jepang saat itu sedang hujan dimana-mana, gunung fuji yang sangat ingin kami lihat dari atas juga gagal terlihat karena tertutup awan yang tebal. Begitu juga sampai saat kami mau mendarat di NRT, awan gelap dan turbulance masih menjadi kawan setia sampai akhirnya pesawat landing dengan mulus di dataran Jepang.
Fuji Mt showered by the cloud. |
Tiba di Narita Airport Terminal 2 kami langsung bisa melihat bagaimana sigapnya para pekerja bandara disana. Dari
sebelum imigrasi sampai imigrasi selesai semua petugas bekerja dengan sangat
aktif dan tanpa lelah melayani kami yang baru datang disana. Ketelatenan mereka cukup membuat kami syok, tapi juga sangat
menarik untuk diamati dan perbandingkan dengan yang di negara sendiri. Nah saat
diimigrasi ini, ada orang yang bertugas men-scan passport/visa kami terlebih dahulu
sebelum akhirnya kami diarahkan ke petugas imigrasi yang bertugas menstempel passport kami. Saat
penyetempelan passport ini, kami yang sudah membeli JRPass harus
memastikan telah mendapatkan stempel atau stiker yang menunjukkan bahwa kami adalah seorang pengunjung sementara/turis di Jepang. Tapi tanpa memastikanpun mereka sebenarnya juga sudah cukup tanggap, karena tanpa saya mintapun passport saya sudah langsung mendapat sticker tersebut.
Keluar dari Imigrasi kami langsung mendapati bagasi kami telah berputar-putar
di conveyor, sangat cepat dibanding saat saya tiba di Jakarta yang bisa lebih dari 30 menit untuk menunggu bagasinya sendiri.
Karena kami menuju hotel kami Plat
Hostel Kyusu Asakusa sebelum besoknya terbang kembali ke Osaka, maka kami
memilih menggunakan kereta Keisha Narita Access dengan hanya membayar @JPY1.310
dengan jarak tempuh yang tertera di google maps selama 1 jam 2 menit. Harganya lumayan hemat dibandingkan kereta lain yang juga
memiliki jarak tempuh yang hampir sama namun lebih mahal. Tapi kelemahannya, waktu tunggu lumayan lama
di stasiun bandara dan informasi tidak begitu jelas karena kereta KNA dengan Skyliner
menggunakan jalur yang sama, begitu juga sign kereta menggunakan bahasa kanji cukup susah untuk mereka yang tidak bisa membaca kanji. Kalau
saja saat itu kami bertanya langsung ke petugas yang berdiri di sisi jalur kereta. Bisa jadi kami tidak ketinggalan kereta
terus menerus dan langsung mendapat kereta yang tepat tanpa menunggu lama. Sayangnya kami terlalu percaya diri berada di lokasi yang tepat dan tinggal naik kereta saja, tapi ternyata tak semudah itu.
Inside the KNA |
Kami akhirnya tiba di stasiun Asakusa dan kebetulan mendapat
kenalan yang membantu kami keluar dari stasiun di jalur ber-lift. Karena barang bawaan kami yang lumayan besar,
melihat lift di stasiun subway beneran berasa mendapat surga dunia. Sesampainya diatas, dan karena hari itu kami masih belum
menghidupkan XLPass kami, jadinya kami hanya mengikuti arah maps ke hotel yang
sudah kami hafalkan diluar kepala. Meskipun pada akhirnya kami tetap hampir kesasar juga, hahaha.
Sesampainya di hotel kami langsung check in dan melanjutkan perjalanan menuju ke Stasiun Ueno untuk
makan malam di Gyukatsu Motomura.
Bersama dengan hujan yang rintik-rintik turun dari langit, kami tetap bergegas berjalan menuju halte bus dan menunggu bus no 46 menuju halte terdekat ke Gyukatsu Motomura di Ueno. Sayangnya, lebih dari 10 menit kami menunggu di halte, bus tak juga datang. Kami memutuskan untuk jalan kembali ke arah stasiun dan menaiki subway dari Tamaraguchi Stasiun
dan turun di Ueno Station dengan biaya JPY 170 per orang. Hanya 2 stasiun berselang dan tibalah kami di Stasiun Ueno yang sangat besar itu, beberapa hari kedepan kami tidak menyangka juga bakal kebingungan mencari lokasi loket metro disini, karena rencana kami pada awalnya tidak berhenti di stasiun ini. Stasiun yang sangat besar dan terlalu banyak exit ini akhirnya menghantarkan kami ke arah Gyukatsu
Motomura yang terkenal di kalangan travel influencer itu.
Setelah berjalan beberapa menit dibawah kucuran hujan di area Ueno, kami lihat didepan Gyukatsu Motomura tidak
begitu ramai. Kami senang melihatnya karena kami bisa langsung masuk dan makan malam tanpa perlu antri seperti yag influencer-influencer katakan di instagram storynya. Tapi begitu masuk ke lokasi tangganya, antrian ternyata sudah mengular disana! Kamipun menunggu hampir satu jam disana dan setelah dicoba teryata makanan yang digembar-gemborkan oleh influencer ini rasanya biasa saja, setidaknya menurut selera kami ya. Plusnya, jika mayonaise yang disajikan di Gyukatsu Motomura Ueno ini sangat enak, dan sangat enak lagi jika dipadu-padankan dengan salad kol yang disediakan. Berusaha tetap berpikiran positif, sama dan temanpun mencoba untuk berpikir bahwa mungkin karena ini bukan pusatnya Gyukatsu Motomura, jadinya rasanya biasa saja. Kamipun berniat untuk mencoba Gyukatsu Motomura di Shibuya beberapa hari nanti saat kembali ke Tokyo berharap mendapatkan rasa lezat yang disebut-sebut oleh para influencer tersebut.
Selesai makan, kami langsung lanjut berjalan keliling area Stasiun Ueno, kami juga berjalan menuju Taman Ueno yang didalamnya terdapat Shinobazunoike Temple. Tapi karena sudah malam dan hujan, temple dan taman ini cukup sepi. Kami berfoto sebentar disana dan memutuskan untuk pulang ke arah hotel dengan berjalan kaki. Lumayan juga bisa menikmati suasana malam di Tokyo yang sepi melewati gang-gang dari Ueno ke Hotel di Asakusa yang berjarak +-30 menit. Sesampainya di sekitar hotel, kami sedikit kesasar dan saat kebingungan mencari arah ini, tiba-tiba kami dibantu oleh dua pria jepang yang sedang berjalan kaki berlawanan dari arah dengan kami. Karena kami saat itu belum mengaktifkan internet kami, merekapun membukakan google maps dengan handphone mereka dan mengantar kami ke hotel kami yang ternyata sangat dekat dan hanya satu belokan ke kiri dari lokasi kami kesasar.
Famous Gyukatsu that is so so in our tongue |
Hari pertama di Jepang, kami masih belum bisa melihat
indahnya dedaunan musim gugur disana. Alasan utamanya karena kami berangkat gelap dan sampai
disana gelap serta hujan juga, belum rejeki. Hotel yang kami tempati ini sangat bersih dan tersedia bath-up, lumayan kalau ada rencana untuk berendam dengan shower bomb yang lucu itu. Kami juga baru tau kalau rata-rata hostel di Jepang tidak memperbolehkan tamunya mengobrol keras-keras saat didalam kamar, meskipun waktu sudah menunjukkan jam 12 siang pun. Mungkin karena dalam satu ruangan berisi banyak kamar/box jadi memang dilarang agar tidak menganggu tamu lainnya disana, mungkin. Kami menghargai aturan tersebut dan hampir setiap saat kami di dalam kamar, kami hanya bisa berbicara dengan berbisik-bisik saja, dan itupun berlanjut sampai kami tetap berbicara berbisik-bisik saat kami berjalan di gang-gang di Kyoto nantinya. Lucu ya.
No comments:
Post a Comment